Oleh : Acep Jamaludin, Wakil Ketua Umum PMII Kota Bandung.
Abad ke 21 menuntut Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu berdaya saing secara global. Ciri SDM yang berkualitas adalah mampu mengelola, menggunakan dan mengembangkan keterampilan berpikir.
Beberapa keterampilan sesuai tuntutan abad 21, diantaranya: a) Kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical Thinking and Problem Solving Skills); b) Kemampuan mencipta dan membaharui (Creativity and Innovation Skills); c) Literasi teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communications Technology Literacy); d) Kemampuan belajar kontekstual (Contextual Learning Skills); serta e) Kemampuan informasi dan literasi media (BSNP, 2010).
Keterampilan ini lebih mengarahkan individu memiliki kemampuan menyelesaikan permasalahan secara logis dan tepat. Facione (2013) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis terdiri atas enam, yaitu: interpretasi, analisis, kesimpulan, evaluasi, penjelasan dan pengaturan diri.
Upaya pemberdayaan kemampuan berpikir kritis tersebut dapat dibentuk dan diasah melalui proses perkuliahan yang teroganisir dan terarah dengan baik.
Dikatakan abad ke-21 adalah abad yang meminta kualitas dalam segala usaha dan hasil kerja manusia. Dengan sendirinya abad ke-21 meminta sumberdaya manusia yang berkualitas, yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga yang dikelola secara profesional sehingga membuahkan hasil unggulan.
Tuntutan-tuntutan yang serba baru tersebut meminta berbagai terobosan dalam berfikir, penyusunan konsep, dan tindakan-tindakan. Dengan kata lain diperlukan suatu paradigm baru dalam menghadapi tantangan-tantangan yang baru, demikian kata filsuf Khun.
Menurut filsuf Khun apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigm lama, maka segala usaha akan menemui kegagalan. Tantangan yang baru menuntut proses terobosan pemikiran (breakthrough thinking process) apabila yang diinginkan adalah output yang bermutu yang dapat bersaing dengan hasil karya dalam dunia yang serba terbuka (Tilaar, 1998:245).
Selain dari itu berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat serta perkembangan otomasi dimana banyak pekerjaan yang sifatnya pekerjaan rutin dan berulang-ulang mulai digantikan oleh mesin, baik mesin produksi maupun komputer.
Sebagaimana sudah diketahui dalam abad ke 21 ini sudah berubah total baik masyarakat maupun dunia pendidikannya. Sekolah yang dipahami sampai saat ini sudah terbentuk sejak abad ke 19 dalam rangka pengembangan pendidikan anak dan juga mendorong industrialisasi.
Jadi awalnya sekolah itu dibentuk untuk mendukung pembentuk masyarakat madani dan juga industrialisasi namun sejak tahun 1989 dimana sejak Jerman sudah bersatu tiba-tiba mulai era globalisasi sampai saat ini.
Masa pengetahuan (knowledge age) menjadi bahasan populer dalam era ini, semua alternative upaya pemenuhan kebutuhan hidup dalam berbagai konteks lebih berbasis pengetahuan.
Upaya pemenuhan kebutuhan bidang pendidikan berbasis pengetahuan (knowledge based education), pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economic), pengembangan dan pemberdayaan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based social empowering), dan pengembangan dalam bidang industri pun berbasis pengetahuan (knowledge based industry) (Mukhadis, 2013:115).
Perekonomian global abad ke-21 dikendalikan oleh jaringan teknologi informasi, di mana semua transaksi dilakukan secara online, investasi dan pasar modal dilakukan tanpa melihat gejolak kehidupan nyata, kecuali dengan cara melihat angka-angka di monitor. Angka-angka itu berubah dari menit ke menit, seiring dengan gejolak yang terjadi dalam ekonomi perdagangan, politik, sosial, bahkan oleh ‘ulah’ tokoh dunia.
Di abad ke 21 ini, pendidikan menjadi semakin penting untuk menjamin peserta didik memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi, serta dapat bekerja, dan bertahan dengan menggunakan keterampilan untuk hidup (life skills).
Abad 21 juga ditandai dengan banyaknya (1) informasi yang tersedia dimana saja dan dapat diakses kapan saja; (2) komputasi yang semakin cepat; (3) otomasi yang menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin; dan (4) komunikasi yang dapat dilakukan dari mana saja dan kemana saja (Litbang Kemdikbud, 2013).
Perubahan transisi dari masyarakat industri ke masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge age) mempengaruhi beberapa aspek baik budaya maupun pendidikan.
Munculnya pekerja baru di bidang industri yang berbasis pengetahuan (knowledge work). Sebagian besar dari pekerjaan baru memerlukan kualifikasi yang tidak dimiliki oleh pekerja di industri. Pekerja baru membutuhkan pendidikan formal untuk memperoleh dan menerapkan teori pengetahuan analitis (analytical knowledge) dan membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk bekerja serta kebiasaan terus belajar (continuous learning). Para pekerja model baru tidak hanya memindahkan jenis pekerjaan dari sektor pertanian dan rumah tangga ke pekerjaan berbasis industri, namun juga harus menjadi pekerja yang memiliki pengetahuan (knowledge work) (Drucker, 1994).
Perubahan dibutuhkan untuk mempersiapkan diri agar dapat hidup dan bekerja dalam masa pengetahuan (knowledge age) terutama pada bidang pendidikan Trilling and Hood (1999 : 3)
Kompetensi serta kemampuan soft skill dan hard skill sangat berpengaruh dalam kontestasi perebutan kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan dalam aspek kehidupan.
Terkhusus bagi mahasiswa baru dalam memasuki pendidikan di perguruan tinggi ia harus mampu beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat kampus, dan ia juga memiliki beban berat dalam konstruksi social dimana mahasiswa harus mampu mewakili segenap anak bangsa sebagai agen perubahan dan agen control social system pemerintahandan juga di masyarakat.
Tidak hanya melaksanakan kewajiban kuliah (datang, duduk, dengar dan mencacat), akan tetapi mampu menjunjung Tri Darma Perguruan Tinggi: Pendidikan/Pengajaran, Research/Penelitian serta Pengabdian pada Masyarakat yang akan di tunggu-tunggu hasilnya. Maka dari itu, menyandang sebuah gelar keserjanaan dalam dunia akademika bagi mahasiswa tidaklah cukup untuk menghadapi era modernisasi dan globalisasi pada abad 21.
Tugas penting yang menjadi fokus mahasiswa adlah, bagaimana seorang mahasiswa mampu merepresentasikan diri secara personal di dalam masyarakat dengan memiliki wawasan ilmu secara mendalam hingga mampu diamalkannya serta menjadi manusia intelek, professional dan bertanggung jawab atas ilmu di jamannya. Namun mahasiswa memerlukan proses dalam membangun kehidupan akademisi yang bagus melalui latihan ikut dalam organisasi yang mewadahi dalam menimbah pengalaman dan pengetahuannya, yang bukan hanya diperoleh dari bangku kuliah, akan tetapi ikut peran aktif dalam sebuah organisasi extra maupun intra yang diwujudkan melalui aktivitas kehidupan ilmiah kampus yang di isi dengan perkuliahan, diskusi ilmiah, ataupun kajian ilmiah bahkan riset dan kerja social.
Realitas social yang harus kita refleksikan bersama, bahwa standar pendidikan kita masih berproses pada pemenuhan dan penyiapan sarana serta hal-hal yang bersifat teknis, belum menyentuh ranah subtansinya, sehingga hanya persoalan-persoalan luarnya yang digarap pada kajian epistimologis, sedangkan belum menyentuh ranah ontologis dan aksiologinya. Sehingga perlu kesadaran bersama terutama bagi mahasiswa baru yang benar-benar ingin memasuki dunia totalitas diperguruan tinggi, perlu upaya mempersiapkan diri secara matang, baik niat serta keinginan maupun kemauannya untuk berkanca dalam dunia civitas akademika bagi seorang intelektual muslim.
Keadaan menunjukan bahwa saat ini mahasiwa mengalami dieas orientasi keilmuan, maksud tujuan dari ia menuntut ilmu adalah bukan memanusiakan manusia, akan tetapi berorientasi pada aspek matrial/matrialisme demi mendapatkan pekerjaan, yang mapan, gaji yang besar saat memasuki dunia kerja cita-cita yang didapatkannya, sehingga terkesan sekedar pragmatis yang hanya mengugurkan persoalan formalitas, selesai semuanya sudah lulus dapat ijazah seperti itu, akan tetapi mengikuti proses didikan yang ada wadanya, seperti aktif disalah satu organisasi sebagai upaya pengembelengan diri untuk menyiapkan pengetahuan melalui diskusi, interaksi, komunikasi yang dibangun guna memiliki pengalaman serta networking dalam upayanya membelajarkan diri.
Tidaklah muda bagi seorang mahasiswa dalam studi akademisnya yang dituntut untuk lulus tepat waktu serta mendapatkan nilai IPK camloud, perlu kerja keras dan cerdas. Salah satu tempat pembentukan karakter pergerakan yang menjadi basic untuk mencetak suatu mindset bagi mahasiswa adalah dengan ikut peran aktif dalam suatu organisasi intra maupun ekstra kampus, yang diharapkan mereka mengetahui dan mendalami bagaimana proses-proses kegitan kampus berjalan.
Salah satu tawaran bagi mahasiswa adalah ikutlah PMII yang berideologi NU (Ahlussunnah Wal Jama’ah) aswaja yang didirikan pada tanggal 17 April 1960 an, dengan prinsip: (Ukhuwah Islamiyah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Mabdi Khoiru Ummah, Al-Musawah serta Hidup Berdampingan dan Berdaulat Secara Penuh) yang mengutamakan nilai-nilai zikir, fikir dan amal sholeh sehingga terbentuk insan yang relegius, insan dinamis, insan sosial dan insan mandiri, inilah yang digadang-gadang menelurkan insan cendikia, professional dan intelektual muslim.
Mengapa perlu wadah bagi mahasiswa dalam menempah dirinya saat dibangku perkuliahan, Karena dengan ikut serta proses dalam berorganisasi mahasiswa mampu menunjukan kemampuannya dalam bidang leadership, manajerial (Planning, Organizing, Staffing, Leading/Directing, Controlling) baik secara kelompok maupun individu yang dibangun dari diri yang ikut terlibat dalam proses kegiatan yang ada di organisasi tersebut.
Bukan hanya itu proses internalisasi dan intraksi bahkan sosialisasi menjadi wahana dalam budaya ilmiah yang dibangun dalam mewujudkan insan-insan cendikia yang humanis, tolaran dan berkepribadian yang memiliki karakter sesuai dangan landasan makna filosofis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).